Tuesday, June 28, 2011

Meaningless Job

Hmm... Facebook penuh dengan berbagai aplikasi-aplikasi yang menarik. diantaranya "Sifat dalam nama on Facebook", "Rahasia kasih sayang mengikut bulan lahir", etc...
Hasil ulah meaningless ine neeh :

"Rahasia Kasih Sayang Mengikut Bulan Lahir"
Nazmha El-Natsir : Oktober
  • Amat suka berkomunikasi dengan pasangan
  • Suka disayangi dan menyayangi pasangan
  • Sopan terhadap pasangan
  • Jujur dan jarang berpura-pura dengan pasangan
  • Mudah terluka hati sekiranya pasangan ada melakukan kesalahan terhadapnya
  • Sukar menerima pandangan pasangan
  • Emosi yang mudah terusik
  • Pengasih, penyayang terhadap pasangan
  • Cemburu dan terlalu cemburu
  • Romantik
  • Memahami pasangan
  • Pasangan Ideal : Individual ini ramai pasangan yang sesuai dengannya 1,2,4,5,8,9,10,12
"Sifat Dalam Nama on Facebook"
Nazmha El-Natsir : Sifat dan Nama Saya
N  :  baik hati dan kemas
A  :  ramah dan murah senyuman
S  : tekun dalam mengejar cita-cita
M : pandai dan kreatif
A  : ramah dan murah senyuman
W : ramah dan mudah simpatia yang gak banget deh,
A  : ramah dan murah senyuman
T : sangat berdisiplin
I  : suka memendam perasaan dan masalah

N  : baik hati dan kemas
A  : ramah dan murah senyuman
S  : tekun dalam mengejar cita-cita
I  : suka memendam perasaan dan masalah
R : suka mengkritik

Wah wah wah ada-ada saja deh.. ada yang benar ada juga gak banget deh...

But, over all. Whatever do you say, It's Me. Just the way I am....

Thursday, June 23, 2011

Lelaki Idaman Setiap Wanita

Lelaki idaman saya adalah...
Seorang lelaki yang beriman...
Yang hatinya disaluti rasa taqwa kepada Allah...
Yang jiwanya penuh penghayatan terhadap Islam...
Yang sentiasa haus dengan ilmu...
Yang sentiasa dahaga akan pahala...
Yang shalatnya adalah kebiasaan dirinya...
Yang tidak pernah takut untuk berkata benar...
Yang tidak pernah gentar untuk melawan nafsu...
Yang sentiasa bersama kumpulan orang-orang yang berjuang di jalan Allah...

Lelaki idaman saya adalah...
Lelaki yang menjaga tutur katanya...
Yang tidak bermegah dengan ilmu yang dimilikinya...
Yang tidak bermegah dengan harta dunia yang dicarinya...
Yang sentiasa berbuat kebajikan karena sifatnya yang penyayang...
Yang mempunyai banyak kawan dan tidak mempunyai musuh...

Lelaki idaman saya adalah...
Lelaki yang menghormati ibunya...
Yang sentiasa berbakti kepada kedua orang tua dan keluarga...
Yang akan mendidik isteri dan anak-anaknya mendalami Islam...
Yang mengamalkan hidup penuh kesederhanaan...
Karena dunia baginya adalah rumah sementara menuju akhirat...

Lelaki idaman saya...
Senantiasa bersedia untuk menjadi imam...
Yang hidup dibawah naungan Al-Quran dan mencontohi sifat Rasulullah...
Yang boleh diajak berbincang dan berbicara...
Yang menjaga matanya dari berbelanja...
Yang sujud penuh kesyukuran dengan rahmat Allah diatasnya...

Lelaki idaman saya...
Tidak pernah membazirkan masa...
Matanya kepenatan karena penat membaca...
Suaranya lesu karena penat mengaji dan berdzikir...
Tidurnya lena dengan cahaya keimanan...
Bangunnya subuh penuh keceriaan...
Karena sehari lagi usianya bertambah penuh kematangan...

Lelaki idaman saya...
Sentiasa mengingat mati...
Yang baginya hidup di dunia adalah ladang akhirat...
Yang mana buah kehidupan itu perlu dibaja dan dijaga...
Agar berputik tunas yang bakal menjadi buah yang baik...
Meneruskan perjuangan Islam sebelum hari kemudian...

Lelaki idaman saya adalah...
Lelaki yang tidak terpesona dengan buaian dunia...
Kerana dia memimpikan syurga...
Di situlah rumah idamannya...
Dan dia ingin membawa saya bersama...
Dialah lelaki idaman saya...

MAKALAH USHUL FIQHI


MAKALAH
USHUL FIQHI


DISUSUN OLEH

NASMAWATI
20401110063

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR
2010/2011



KATA PENGANTAR

     Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah swt. yang telah memberi berkah, taufiq dan hidayah-Nya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya tanpa suatu halangan dan rintangan yang cukup berarti.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan Islami. Alhamdulillah.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terkhusus kepada Bapak Andi Achruh AB. Pasinringi, yang telah membimbing dan mengajarkan kami mata kuliah Ushul Fiqh. Tak lupa kepada semua pihak hingga terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah swt.
Penulis menyadari walaupun kami telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun Makalah yang sangat sederhana ini, tetapi penulis yakin masih banyak kekurangan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, segala tegur sapa sangat penulis harapkan demi perbaikan tugas makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca. Amin.

                                    Makassar,     Juni  2011


                                                                                                                         Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI  
BAB   I..... PENGERTIAN USHUL FIQH, RUANG LINGKUP, DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
A.    Pengertian Ushul Fiqh
B.     Ruang Lingkup Ushul Fiqh
C.     Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

BAB   II  ASBABUL KHILAF ( SEBAB-SEBAB PERBEDAAN) DALAM MEMAHAMI AL-QURAN DAN SUNNAH
A.    Hal yang Berkaitan dengan Lafaz 
B.     Hal yang Berkaitan dengan Periwayatan Hadits
C.     Hal yang Berkaitan dengan Ta’arudh
D.    Hal yang berkaitan dengan ‘Urf
E.     Sumber Hukum yang Berbeda

BAB   III   HUKUM SYAR’I
A.    Pengertian Hukum Syar’i
B.     Pembagian Hukum Syar’I
C.     Prinsip Penetapan Hukum Syar’I

BAB   IV   SUMBER HUKUM ISLAM
A.    Al-Qur’an
B.     As-Sunnah
C.     Ijtihad

BAB  V     KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH
A.    Al-Amru dan An-Nahyu
B.     Al-Am dan Al-Khas
C.     Al-Muthlaq dan Al-Muqayyad
D.    Al-Mantuq dan Al-Mafhum
E.     Al-Mudarif dan Al-Musytarak
BAB  VI    ITTIBA’, TAQLID, TARJIH DAN TALFIQ
A.    Ittiba’
B.     Taqlid
C.     Tarjih
D.    Talfiq
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENGERTIAN USHUL FIQH, RUANG LINGKUP,
DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

A.    Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian ushul fiqh dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai rangkaian dari dua kata : ushul dan fiqh. Kedua, sebagai satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’at.
Dilihat dari sudut tata bahasa (Arab), rangkaian kata ushul dan fiqh tersebut dinamakan tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata ushul, jamak dari ashlu artinya asal, dasar, atau pokok. Dan fiqh artinya paham atau mengerti.
Para ulama mengungkapkan definisi ini dalam berbagai pengertian.
a)      Al-Khudhary, mengartikan ilmu ushul fiqh sebagai : “Kaidah-kaidah yang dengannya diistimbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil tertentu.”
b)      Abdul Wahhab Khallaf, mendefinisikannya dengan : “Ilmu tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
c)      Abu Zahrah, mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan kepada mujtahid tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nash dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri.
Jadi secara umum, ushul fiqh adalah “Kumpulan kaidah-kaidah yang menjadikan kepada faqih (ahli hukum Islam), cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’. Atau “Suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari’at Islam dari sumbernya.”

B.     Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1.      Dalil-Dalil atau Sumber Hukum Syara’
Kata dalil dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja “dalla”, “yadullu”, dan “dalil”, artinya yang menunjuk, yang memberi tanda, dan lain-lain. Jadi, dalil yang dimaksudkan ushul fiqh adalah sesuatu yang dipakai untuk menetapkan suatu hukum atau sebaliknya yakni, menetapkan suatu hukum dengan suatu dalil.
ü  Naqli, sifat kebenarannya mutlak, sekalipun hukum yang dikandungnya relatif, berlaku sampai akhir zaman.
ü  ‘Aqli, kebenarannya bersifat relatif, karena murni sumbernya ijtihad.
Fiqih itu relatiif, tidak tetap, berubah. Sebagai contoh dari dalil yaitu : Umat Islam diwajibkan naik haji bagi yang mampu. Kata “haji” itu merupakan dalil naqli (karena berlaku sampai akhir zaman), sedangkan proses haji itu dalil ‘aqli (karena prosesnya bisa saja berubah karena waktu).
2.      Hukum-Hukum Syara’ yang Terkandung dalam Dalil
Hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain.
3.      Thurqun Al-Istimbath
Thurqun Al-Istimbath atau orang yang beristimbath. Ada juga yang memaknainya sebagai metode kebenaran atau metodologi penetapan hukum.  Sebagai contoh, Ajinomoto di fatwa haramkan oleh MUI dari segi proses, sedangkan Gusdur menghalalkan karena dari hasil, karena setelah diteliti tidak ada enzim babi setelah hasil akhir.
4.      Al-mustambith
Al-Mustambith adalah kajian tokoh atau ulama.
5.      Halul mustaqid
Halul mustaqid adalah keadaan orangnya atau orang yang beristimbath.


C.     Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
1.      Zaman  Rasulullah
Di zaman Rasulullah saw. sumber hukum Islam hanya ada dua , yaitu Al-Quran dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Hanya saja, jika ijtihad beliau salah, Allah swt. akan segera menurunkan wahyu dan menunjukkan yang benar. Sebaliknya, jika terhadap hasil ijtihad nabi itu tidak turun wahyu yang menyanggah keabsahannya, berarti ijtihad tersebut benar dan termasuk ke dalam pengertian As-Sunnah. Apabila wahyu tidak turun, maka Beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya yang kemudian dikenal dengan Hadits atau Sunnah yang secara otomatis sunnah ini sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam. Rasulullah saw. juga menggunakan qiyas dalam menjawab berbagai pertanyaan para sahabat.

2.      Zaman Para Sahabat
Di zaman para sahabat, karena wahyu dan sunnah rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang dihadapi semakin berkembang, maka ketetapan hukum didasarkan pada ijtihad. Hasil ijtihad sahabat tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum sebagai pedoman kaum Muslimin berikutnya, kecuali jika ada pengesahan dari Rasulullah saw. dan tidak diturunkannya wahyu yang kelihatannya tidak berdiri sendiri dalam arti tetap dalam pengawasan wahyu.  Sepeninggal Rasulullah saw., perkembangan permasalahan di zaman sahabat, ini mempengaruhi para sahabat dalam menetapkan hukum. Akibatnya dalam kasus yang sama, hukumnya akan berbeda bila beda daerahnya. Seperti disebutkan banyak persoalan baru yang muncul dan menuntut para ulama untuk menetapkan hukumnya melalui upaya ijtihad mereka sendiri, dan tidak lagi menunggu pengesahan dari Rasulullah.

3.      Zaman Tabi’in dan Para Imam Mazhab
Di zaman tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan para imam mujtahid sekitar abad II dan III Hijriah. Permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks, para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam, sehingga bermunculan fatwa yang berkaitan persoalan-persoalan baru. Titik tolak para ulama tersebut dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari sudut maslahat, sedangkan ulama ushul fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi, mereka berusaha mencari berbagai illat-nya, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya. Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits Rasulullah saw.


BAB II
ASBABUL KHILAF ( SEBAB-SEBAB PERBEDAAN)
DALAM MEMAHAMI AL QURAN DAN SUNNAH
Mengapa diantara para ulama masih ada perbedaan pendapat, padahal semua ilmu itu bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah? Jawabnya karena ilmu itu selalu disesuaikan dengan masa dan tempatnya. Contohnya saja, pada masa Rasulullah tingkat intelektualnya berbeda dengan jaman sekarang.
Para ulama ushul menyimpulkan lima hal yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam memahami Al-Qur’an dan As-sunnah.

A.    Hal –hal yang Berkaitan dengan lafaz (Al-lafaz)
1.      Musytarak
Musytarak artinya lafaz yang mempunyai arti ganda. Contohnya : “Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah (2) : 228).
Lafaz quru’ di atas mempunyai dua arti : suci dan haid. Karena memang lafaz itu digunakan oleh bangsa Arab untuk kedua makna itu. Kelompok Syafi’yah mengartikan quru’ dengan suci, sebaliknya kelompok Hanafiyah mengartikan quru’ dengan haid.

2.      Lughawy dan Syar’i
Lughawy berarti bahasa, dan syar’i berarti istilah. Contohnya :  “Dan janganlah kamu nikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu.” (QS. An-Nisa’: 22).
Menurut lughat, nikah berarti persetubuhan, sedangkan menurut syara’ berarti akad.

3.      Al-Amr Nahi
Perbedaan akibat adanya perbedaan perintah dan larangan. Maksudnya adanya perbedaan cara masing-masing orang atau kelompok untuk memahami perintah dan larangan yang ada.
B.     Hal-hal yang Berkaitan dengan Periwayatan Hadits
Kadang-kadang hadist sampai kepada sebagian imam, lalu mereka beramal dengannya, dan tidak sampai kepada sebagian yang lain, sehingga mereka beramal dengan dalil lain pula.
Hadist itu tidak bisa dipahami secara global. Contohnya, Nabi Muhammad makan dengan tiga jari, tetapi di setiap daerah itu bahan makanannya berbeda, sehingga tidak bisa dipahami secara sepihak.

C.    Hal-hal yang Berkaitan  dengan Ta’arudh
Menurut bahasa, arudh berarti taqabul dan tamanu’ atau bertentangan dan sulitnya pertemuan. Ulama ushul fiqh mengartikan ta’arudh ini sebagai dua dalil yang masing-masing menafikan apa yang ditunjuk oleh dalil lain. Misalnya, tentang membasuh atau menyapu kedua kaki ketika berwudhu. Hal ini terdapat dalam firman Allah “ Wamsahuu biru’uusikum wa arjulakun ilal ka’baiyni” , Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah: 6)
Dalam suatu qira’at dibaca wa arjulakum sehingga ada ulama yang berpendapat bahwa kaki itu wajib dibasuh ketika berwudhu. Namun, dalam qiraat lain dibaca  wa arjulikum sehingga ada ulama yang mengatakan bahwa kaki itu cukup disapu saja ketika berwudhu.

D.    Hal- hal yang Berkaitan dengan  ‘Urf
Seperti diketahui, para ulama mujtahid tidak semuanya tinggal di suatu kota, akan tetapi tersebar ke beberapa pelosok daerah. Dan masing-masing daerah mempunyai kekhususan, baik adat istiadat, kondisi sosial, iklim dan lain sebagainya. Contohnya, di suatu daerah guru mengaji diberi upah setelah mengajar, tetapi di daerah lain guru mengaji itu tidak diberi upah karena di daerah itu sudah berlaku kebiasaan tidak memberi upah kepada guru mengaji.

E.     Sumber Hukum yang Berbeda
Ketika kita berbicara tentang sumber-sumber hukum fiqh diungkapkan bahwa dalil-dalil yang disepakati jumhur ulama sebagai sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran, As-sunnah, Ijma, dan Qiyas. Tetapi dalam hal ini, ada orang yang hanya bersumber pada Al-Quran dan As-sunnah saja. Padahal As-sunnah atau hadist itu harus mutawakkil dulu untuk dijadikan sumber.

BAB III
HUKUM SYAR’I
A.    Pengertian Hukum Syar’i
Hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain. Sedangkan dalam istilah syara’ adalah “Firman Allah ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung tuntutan atau membolehkan memilih atau adanya (suatu hukum) karena adanya yang lain.”
Secaran lughawy (etimologis) syariat berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang sesungguhnya harus diturut. Semula syariat diartikan sebagai hukum-hukum atau segala aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah maupun hubungan antara sesama mereka sendiri.


B.     Pembagian Hukum Syar’i
1.      Hukum Taklifi
Taklifi artinya memberatkan, membebankan. Hukum taklifi yang dimaksud adalah tuntutan Allah pada manusia yang baligh dan berakal untuk berbuat atau untuk untuk tidak berbuat atau memilih salah satu diantara keduanya.
Ulama berbeda pendapat tentang macam-macam hukum taklifi , tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian oleh ahli fiqhi,  yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
a)      Ijab atau Wajib, yakni firman Allah swt. yang menuntut akan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang kuat atau pasti. Atau Wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa apabila meninggalkannya.  Contohnya, tuntutan mengerjakan shalat lima waktu, mengeluarkan zakta, puasa, dan lain-lain.
b)      Nadb atau Sunnah, yakni firman Allah swt. yang menuntut akan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang kuat atau Sunnah adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala , tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa , atau dosa. Contohnya seperti, tuntutan mengerjakan shalat gerhana, shalat sunnah lainnya.
c)      Tahrim atau Haram, yakni firman Allah swt. yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang kuat atau Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya , orang yang melakukannya akan disiksa dan meninggalkannya diberi pahala. Seperti, tuntutan untuk tidak melakukan zina, tidak membunuh, dan lain-lain.
d)     Karahah atau Makruh, yakni firman Allah swt. yang menuntut untuk meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak kuat atau Makruh adalah segala perbuatan  yang  bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang melakukannya tidak  mendapatkan dosa. Seperti, tuntutan untuk tidak makan bawang merah ketika hendak shalat berjamaah, dan lain-lain.
e)      Ibahah atau Mubah, yakni sesuatu perbuatan yang tidak dituntut untuk mengerjakan dan tidak pula dituntut untuk meninggalkannya atau Mubah adalah  segala perbuatan yang diberi kebabasan untuk memilihnya , melakukan atau meninggalkan/ tidak melakukan. Seperti, main bola, duduk, bersiul, dan lain-lain.

2.      Hukum Wadh’i
Wadh’i  artinya adalah buatan atau bikinan. Hukum wadh’i yang dimaksud adalah adanya sesuatu hukum bergantung pada ada atau tidaknya sesuatu yang lain seperti sebab, syarat, dan manik (halangan hukum).
Oleh karnanya ulama membagi hukum wadh’i ini kepada: sebab , syarat, mani’. Namun sebagian ulama juga menambahkan sah dan batal , azimah dan rukhsah.
a)      Sebab, yang dimaksud sebab disini adalah bahwa adanya sesuatu memastikan adanya hukum, dan begitu juga sebaliknya, bahwa tidak adanya sesuatu itu memastikan tidak adanya hukum. Contohnya menyaksikan hilal/bulan Ramadan menjadikan sebab wajibnya puasa ( Q.S.Al-Baqarah : 185).
b)      Syarat, yang dimaksud syarat adalah bahwa tidak adanya sesuatu memastikan tidak adanya hukum. Tetapi tidak sebaliknya yakni adanya sesuatu harus adanya hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila usaha tersebut sudah berjalan satu tahun, syarat berlakunya satu tahun belum terpenuhi maka belum wajib. Dan itu saja belumlah tentu wajib zakat karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya satu nisab.
c)      Mani’, yang dimaksud dengan mani’ adalah sesuatu yang adanya memastikan tidak adanya hukum. Contohnya, perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani’(penghalang) Hukum pusaka dan mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai sudah ada , yaitu perkawinan.
d)     Rukhsah dan Azimah. Rukhsah artinya mudah, ringan. Rukhasah yang dimaksud disini adalah perubahan sesuatu dari yang berat pada yang ringan atau yang lebih mudah, karena adanya satu sebab terhadap hukum ashal. Azimah artinya teguh, kuat, berat. Yang dimaksud Azimah disini adalah apa-apa yang disyaratkan pada mulanya, dan tidak bergantung pada sesuatu uzur, atau halangan.
e)      Sah dan Bathal . Bathal adalah kebalikan dari sah. Sah adalah sesuatu perbuatan yang sesuai dengan ketentuen-ketentuan syara’. Sedangkan bathal adalah perbuatan yang menyalahi ketentuan-ketentuan syara’.

3.      Perbedaan antara Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
a.       Dilihar dari sudut pengertiannya, hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak. Sedangkan hukum wadh’i tidak mengandung tuntutan atau member pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah, dan batal.
b.      Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang tidak. 

C.    Prinsip-Prinsip Penetapan Syar’i
a)      Taqlil Taklif
Hukum Islam diterapkan dengan prinsip taqlil taklif, meringankan beban atau menyedikitkan beban. Sebagai contoh, sebelum Isra Miraj, Allah swt. menetapkan shalat wajib 50 raka’at, tetapi setelah Isra Miraj shalat menjadi Shalat lima waktu.
b)      ‘Idam Harj
Hukum ‘idam harj, meniadakan kesukaran. Sebagai contoh, Allah tidak pernah mempersulit hamba-Nya. Jika hamba-Nya tidak bisa berdiri ketika shalat, maka boleh duduk, bila tidak bisa duduk maka berbaring, dan jika tidak bisa berbaring maka dengan isyarat. Contoh lain, dalam Surah Al-Baqarah “Janganlah kamu menanyakan tentang sesuatu, jika diterangkan pertanyaan kamu maka akan jadi beban bagimu.”
c)      Tadrih fi Tasyri’
Hukum tadrih fi tasyri’, yang berarti penetapan hokum secara berangsur-angsur. Sebagai contoh, penetapan haramnya khamr.


BAB IV
SUMBER HUKUM ISLAM
Pengertian sumber, dari segi bahasa berarti tempat mengambil atau asal pengambilan. Sumber-sumber hukum Islam ada tiga yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtihad. Adapun dasar penetapan hukum Islam itu yaitu :
ü  QS. An-Nisa : 59
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah (Al-Qur’an) dan taatilah Rasul (Sunnah), dan pemerintah (Ijtihad).”
ü  Berdasarkan dialog Nabi dengan Muaz
“Dengan apa kamu memutuskan perkara ? Bikitabillah (dengan Al-Qur’an), Bisunnati rasulullah (sunnah), dan Ajtahidu ra’I (ijtihad).”

A.   Al-Qur’an
1.      Pengertian dan Tujuan Diturunkannya Al-Qur’an
Al-Qur’an dari segi bacaan artinya adalah bacaan. Sedangkan Al-Qur’an dari segi istilah bermakna kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan Malaikat Jibril, berbahasa Arab, dan dinuklilkan kepada kita semua secara mutawwir.
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6236 ayat, adapun isinya tentang isi kandungan Al-Qur’an oleh sebagian ulama dibagi ke dalam lima bagian :
ü  Mengandung hal-hal yang berhubungan dengan ketauhidan.
ü  Hal-hal yang berhubungan dengan  Ibadat.
ü  Hal-hal yang berhubungan dengan janji akan mendapat ganjaran, dan ancaman akan mendapat siksa.
ü  Mengenai penjelasan tentang jalan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
ü  Mengenai sejarah atau kisah-kisah umat di zaman dahulu.
Disamping memberi petunjuk kepada umat manusia tentang mana yang baik dan yang buruk, Alquran juga diturunkan untuk membebaskan umat manusia dari semua perbuatan dan pikiran yang deskrutif lainya, sehingga manusia dapat melibatkan diri dalam problema-problema sosial yang riil dan didalam perkembangan humanisme. 
Sebagai wahyu Allah yang disampaikan kepada manusia secara pasti (qath’i), yang tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya, ketentuan hukum Alquran wajib ditaati dan dijadikan pedoman untuk kehidupan dunia dan akhirat.

2.      Dikatakan Al-Qur’an karena :
ü  Mu’jizat untuk Nabi Muhammad SAW
ü  Al-Maktub fil Mushaf, dibukukan dalam satu mushaf.
ü  Disampaikannya secara mutawattir (dihadapan orang banyak).
ü  Kalau dibaca merupakan ibadah.

3.      Dimensi Al-Qur’an
Al-qur’an memiliki dimensi :
a)      Ilah/Ghaib karena Kalam Allah.
Jika dimensi Al-Qur’an hanya ilah, maka tidak ada yang bisa menyentuh Al-Qur’an.
b)      Syahadah/Insaniah
Petunjuk bagi manusia, sehingga harus diturunkan.

4.      Kemukjizatan Alquran
Mu’jizat berasal dari kata Arab (I’jaz) yang berarti “membuat suatu hal yang luar biasa yang berada di luar kesanggupan manusia untuk memperbuatnya.”  Al’Zarqani berpendapat bahwa mu’jizat alquran adalah sesuatu yang dapat melemahkan manusia atau makhluk lainnya. Ulama melihat mu’jizat Alquran tersebut dari berbagai segi, yaitu:
a)   Dari segi bahasanya
Al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang sangat tinggi, makna yang dalam, dan susunan kata yang amat mengagumkan. Hal ini membuat kagum para ahli sastra Arab, sampai mereka menuduh Nabi Muhammad sebagai tukang sihir, yang menyihir mereka melalui untaian kata-kata yang indah dalam rangkaian ayat Alquran tersebut. Padahal,sebelumnya mereka mengakui bahwa Nabi adalah orang yang terpercaya dalam kalangan Arab, Al-amin.
Contohnya terdapat pada pribadi Umar bin khattab yang luluh hatinya tatkala mendengar ayat-ayat Al-Qur’an itu dibacakan oleh adiknya sendiri. Begitu meresapnya kedalam hati beliau, membuatnya menangis dan akhirnya masuk Islam.
b)    Dilihat dari kandungan isinya
Al-Qur’an banyak mengandung berita-berita tentang hal ghaib, seperti syurga, neraka, hari kiamat, hari pembalasan, dan sebagainya. Al-Qur’an juga banyak memuat ayat-ayat tentang peristiwa atau beberapa prediksi masa depan. Alquran adalah benar ramalannya dan muncul menjadi kenyataan. Seperti dalam QS. Al-Rum (30) : 1-3.
Dari segi ilmu pengetahuan juga banyak terdapat fakta tentang kejadian manusia maupun preoses pertumbuhannya, kemudian mengenai perjalanan matahari, dan kejadian alam lainnya.
B.    As-sunnah
1.      Pengertian As-Sunnah
As-sunnah artinya menurut bahasa adalah kelakuan, perjalanan, pekerjaan. As-sunnah menurut istilah ahli ushul fiqh “Ucapan Nabi dan perbuatannya dan takrirnya”, tampaklah bahwa As-sunnah terbagi atas tiga bagian :
a)      Sunnah qauliah, yakni perintah, keterangan atau penjelasan khusus yang berbentuk kata-kata atau yang disebut dengan sabda Nabi Muhammad saw.
b)      Sunnah fi’liyah, yakni perintah penjelasan atau keterangan khusus yang berbentuk perbuatan-perbuatan atau tindakan yng nyata dilakukan Nabi.
c)      As-sunnah taqririyah, yakni persetujuan Nabi dengan cara diam.

2.      Macam-macam As-Sunnah
As-sunnah dilihat dari segi riwayatnya, terbagi atas :
a)      Mutawattir
Mutawattir menurut bahasa artinya berbaris, berderet. Mutawattir yang dimaksudkan Ahli Hadits adalah : “Khabaran (hadis) yang diterima oleh orang banyak, (menurut perhitungan) mustahil manusia sejumlah itu berkumpul untuk membuat suatu dosa, dilihat dari segi banyaknya mereka itu.”
b)      Masyhur
Masyhur yaitu hadis yang diriwayatkan dari nabi oleh seorang atau dua orang lebih dari sahabat maupun dari kalangan nabi.
c)      Ahad
Ahad artinya satu atau seorang. Hadits ahad yang dimaksudkan oleh Ahli Hadits adalah, haidts yang diriwayatkan dengan satu jalur riwayat saja, atau yang diriwayatkan dengan beberapa jalur tetapi pada setiap jalur terdapat orang yang sama.

3.      Fungsi As-sunnah :
a)      As-sunnah kadang berfungsi sebagai bayan. Yaitu menjelaskan ayat yang bersifat musytarak.
b)      Liltauqid (penguat). Yaitu penguat hukum yang ada dalam Al-Qur’an.
c)      Berdiri sendiri dalam penetapan hukum.  yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an  ditetapkan dalam hadits.

4.      Perbedaan antara Al-Qur’an dan Sunnah
Diantara perbedaan Al-Qur’an dan Sunnah adalah dari segi uslub-uslubnya. Uslub yang digunakan dalam Al-Qur’an mengandung kefasihan, ketinggian balaghahnya, dan kekuatan makna-maknanya.  Sunnah dengan kalimat yang sedikit dapat mencakup beberapa bagian permasalahan yang lain. Uslub-uslub sunnah mempunyai nilai yang tinggi apabila dibandingkan dengan uslub bahasa Arab lainnya.
Perbedaan lainnya dari segi lafaz dan maknanya. Jika lafaz dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah Swt, sedangkan lafaz Sunnah adalah dari nabi sendiri. Dan juga dari segi dalalahnya. Al-Qur’an dari segi wurudnya adalah qath’I semua karna ia disampaikan kepada manusia oleh seorang nabi yang ma’sum. Dari sisi dalalahnya adakalanya zhanny atau qath’I.
Adapun Sunnah, tergantung sanad-sanadnya, apabila ia Sunnah mutawatir, maka qath’I wurud-nya, tapi apabila zhanny wurud-nya sanadnya “lemah”. Demikian pula dari segi dalalahnya, adakalanya qath’I atau zhanny. Tegasnya Al-Qur’an semuanya qath’iul wurud, sedangkan hadis hanya yang mutawatir yang qath’iul wurud.

C.   Ijtihad
1.      Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata kerja Ijtihada, artinya bersungguh-sungguh, yakni hanya terpakai untuk hal-hal yang berat. Ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqh adalah “Seorang ahli fiqih yang mencurahkan kesanggupannya dan berusaha keras untuk mendapatkan satu ilmu tentang hukum syari’at”. Jadi, Ijtihad adalah pengerahan usaha yang sungguh-sungguh hingga tingkat maksimal oleh seorang fakih atau ahli agama, guna menyelidiki dan memeriksa keterangan-keterangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk memperoleh sangkaan yang berat dalam meng-istimbath-kan suatu hukum syara’ untuk diamalkan.

2.      Syarat-syarat Mujtahid
Orang-orang yang melakukan Ijtihad, dinamakan mujtahid, dan harus memenuhi beberapa syarat :
a)      Mengerti bahasa Arab
b)      Memahami tentang Al-Qur’an dan Nasikh Mansukh
c)      Mengerti tentang As-Sunnah
d)     Mengetahui hal-hal yang di-‘ijma-kan dan yang di-ikhtilaf-kan
e)      Mengerti tentang qiyas
f)       Mengetahui maksud-maksud hukum
g)      Memiliki pemahaman dan penilaian yang benar
h)      Seorang mujtahid harus berhati bersih dan berniat lurus karena hal tersebut dapat mempermudah pemecahan masalah.

3.      Hukum Melakukan Ijtihad
a)      Orang tersebut dihukumi fardlu a’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya.
b)      Juga dihukumi fardlu a’in jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
c)      Dihukumi fardlu kifayah, jika permasalahan yang ditujukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya.
d)     Dihukumi Sunnah apabila ber-Ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.
e)      Dihukum haram, apabila ber-Ijtihad terhdap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qath’i, sehingga hasil ijtihad itu bertentangan dengan dalil syara.

4.      Macam- Macam Ijtihad
a)      Ijma’
                                            i.         Pengertian ijma’
        Yang dimaksud dengan ijma’ dalam ilmu ushul fiqhi adalah kesepakatan atau persetujuan mujtahid umat Muhammad saw., setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa terhadap satu perkara
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa sepeninggal Nabi Muhammad saw. tentang suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa tertentu. Peristiwa atau masalah-masalah hukum yang dihadapi umat Islam tidak terjadi hanya pada masa Rasulullah saja, tetapi sepeninggal Nabi pun masalah yang muncul semakin banyak dan tumbuh seiring perkembangan masa. Karena itu, alternatif lain yang ditempuh adalah dengan menentukan hukum dari setiap peristiwa dengan melalui jalan ijtihad yaitu keputusan bersama para mujtahid atau ulama.
                                          ii.         Tingkat-tingkat Ijma
Dilihat dari segi cara terjadinya, ijma terbagi dalam 2  bagian, yakni:
·         Ijma sharih ialah bila semua mujtahid mengeluarkan pendapat-pendapatnya, baik dengan perkataan maupun dengan tulisan, yang menyatakan persetujuannya atas pendapat yang telah diberikan oleh seorang mujtahid masanya.
·         Ijma sukuty ialah diamnya sebagian ulama mujtahid atas pendapat ulama mujtahid lainya dalam menerima atau menolak pendapat tersebut dan diamnya itu bukan karna takut, segan, atau malu.

b)      Qiyas
                                            i.         Pengertian Qiyas
Qiyas menurut  bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul Fiqih memberikan definisi yang berbeda–beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dalam istinbath hukum. Dalam hal ini mereka terbagi dalam dua. Golongan pertama menyatakan bahwa Qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut pandangan golongan yang kedua Qiyas merupakan ciptaan syar’i yaitu merupakn dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hajjat ilahiyah yang dibuat syar’i sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.
                                      ii.             Rukun Qiyas
ü  Maqis ‘alaih yang dinamakan Ashal (pokok) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang menjadikan tempat mengqiyas-kan. Ini pengertian berdasarkan ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut terminologi adalah suatu nash syara’ yang menunjukan hukum dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum.
ü   Maqis dinamakan Fur’u (cabang) yaitu suatu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Fur’u itulah yang dikehendaki untuk disamakn hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan musabbah (yang diserupakan).
ü  Hukum yaitu hukum yang terdapat pada nash atau ashal dan diisyaratkan.
ü  Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashal, dan dhubungkan atau dipersamakan  hukum dengan furu’. Adanya sifat itulah, ashal mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan dengan hukum ashal.

                                        iii.         Pembagian Qiyas
ü Istihsan
Dari segi bahasa, istihsan berarti “menganggap baik sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah, “Meninggalkan qiyas yang nyata (jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (khafi), atau berpindah dari hukum kulli kepada hukum istisan (pengecualian) karna ada dalil yang menurut logika memperbolehkannya. Pada qiyas terdapat dua kasus sedangkan istihsan hanya ada satu kasus.
ü  Istishlah
Istishlah atau biasa disebut al-mashalih al-mursalat adalah suatu kemaslahatan yang tidak disebut oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil yang menyuruh mengerjakan atau meninggalkannya, padahal kalau dikerjakan ia akan memberi kebaikan atau kemaslahatan dalam masyarakat.
ü   ‘Urf
‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama menyamakan ‘urf dengan adat.
ü  Istishhab
Berdasarkan istilah berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya.
ü  Syar’u man Qablana
Syar’u man Qablana adalah syariat yang dibawa oleh para Rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya. Seperti, syariat Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dsb.
ü  Sad al-Zari’ah
Secara harfiah, terdiri dari dua kata: sad yang artinya penghalang atau sumbat, dan Zari’ah yang artinya jalan. Secara istilah, berarti upaya menghambat  atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Seperti, melarang laki-laki dan perempuan berduaan ditempat yang sepi karna dikhawatirkan terjadinya perzinaan.
ü  Qaul Shahabi
Perkataan sahabat yang bukan berdasarkan pikiran (ijtihad) mereka semata adalah hujjah (dasar hukum) bagi kaum muslimin, karena tentu berasal dari perkataan rasul yang didengar.


BAB V
KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH

A.    Al-Amru dan An-Nahyu
1.      Al-Amru
a.       Pengertian Al-Amru
Al-Amru menurut bahasa artinya perintah, suruhan, dan tuntutan. Sedangkan menurut istilah, Al-Amru adalah “satu tuntutan untuk mengerjakan (berbuat sesuatu) dari juruan yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah.”  Yang dimaksud disini adalah Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.

b.      Kaidah-kaidah Al-Amru
ü  Kaidah pertama “Pada asalnya (setiap) perintah itu menunjukkan hukum wajib.”
Perlu diketahui, bahwa terkadang Al-Amru itu dipakai untuk hal-hal yang bermacam-macam, sesuai dengan tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan kearah itu, antara lain :
                                                              i.     Untuk do’a
Sebagai contoh do’a keselamatan dunia dan akhirat atau biasa disebut dengan do’a sapu jagad, yaitu, “Ya Tuhan kami berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 201). Kata-kata “berilah” berbentuk perintah, tetapi karena ditujukan kepada Allah swt., maka tidak dapat digolongkan sebagai perintah melainkan sebagai do’a.
                                                            ii.     Untuk ancaman
Maksudnya adalah perintah yang mengandung ancaman. Sebagai contoh, “Perbuatlah apa yang kamu sukai.” (QS. Fussilat: 40). Kata “perbuatlah” bukanlah perintah untuk mengerjakan apa saja, melainkan adalah kalau kamu berani berbuat sewenang-wenang atau sesuka-sukamu maka akan mendapat ancaman nanti.


                                                          iii.     Untuk memuliakan
Amr yang wajib dikerjakan, yaitu yang datang dari Allah swt. sebagai contoh, “Masuklah ke dalamnya (surga) dengan sejahtera lagi aman.” (QS. Al-Hijr: 46). Kata “masuklah” bukanlah benar-benar perintah, tetapi maksudnya adalah mempersilahkan masuk surga, sebagai tanda untuk memuliakan.
                                                          iv.     Untuk melemahkan
Perintah yang merupakan tantangan untuk melemahkan. Sebagai contoh, “Buatlah satu surat saja semisal dengan Al-Qur’an itu.” (QS. Al-Baqarah: 24). Kata “buatlah” bukan berarti perintah, tetapi sebagai tantangan untuk melemahkan dakwaan orang kafir Quraisy, bahwa Al-Qur;an itu bukan buatan manusia, melainkan wahyu dari Allah swt.
                                                            v.     Untuk menyerahkan
Perintah Amr yang diperintahkan tetapi terserah kepada pelakunya mengerakan atau tidak. Tidak ada kepedulian orang yang memerintah. Sebagai contoh, “Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.” (QS. Thaha: 72). Kata “putuskanlah” bukan berarti perintah, melainkan jawaban pengikut Nabi Musa terhadap fir’aun yang memutuskan atau memutuskan suatu ancaman bila tetap mengikut Musa. Jadi kata “putuskanlah” itu maksudnya adalah menyerahkan pada fir’aun, apakah dilaksanakn atau tidak ancaman tersebut.
                                                          vi.     Untuk kegusaran
Sebagai contoh, “Matilah kamu karena kemarahan kamu itu.” (QS. Ali-Imran: 119). Kata “matilah” menunjukkan kegusaran terhadap orang kafir yang merasa benci pada orang mukmin karena keimanannya.
ü  Kaidah kedua “Pada asalnya perintah itu tidak menunjukkan berulang-ulang.” Maksudnya, suatu perintah tidak menunjukan bahwa kita harus mengerjakannya atau melakukannya berulang kali, tapi cukup sekali. Kecuali dalil lain atau qarinah. Contohnya, ibadah haji hanya dilakukan sekali  tapi sholat diperintahkan untuk dilakukan berkali-kali.
ü  Kaidah ketiga “Pada asalnya perintah itu tidak menunjukkan segera.” Artinya, perintah tidak mesti langsung dilaksanakan, karena tidak terikat oleh waktu dan masa-masa tertentu. Tidak seperti dalil atau qarinah.
ü  Kaidah keempat “Perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah pula mengerjakan wasilah-wasilahnya.” Artinya, bila ada suatu perintah maka segala kegiatan yang menunjang terlaksananya perintah itu, ikut dengan sendirinya diperintah juga. Seperti, wudhu dan shalat.
ü  Kaidah kelima “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan terhadap dhid-nya (lawannya).” Maksudnya, bila ada perintah untuk mengerjakan yang selainya. Contohnya, perintah untuk berdiri.
ü  Kaidah keenam “Qadha itu (harus) dengan perintah baru.”
ü  Kaidah ketujuh “Satu perintah sesudah larangan memfaedahkan mubah.”

2.      Nahyu
a.       Pengertian An-Nahyu
An-nahyu atau nahi artinya menurut bahasa adalah larangan, tegahan, atau yang terlarang. Sedangkan an-nahyu menurut pengertian yang dimaksudkan oleh ushul fiqh adalah “tuntutan untuk tidak mengerjakan (meninggalkan) sesuatu dari pihak yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah.”
b.      Kaidah-kaidah An-Nahyu
ü  Kaidah pertama “Pada asalnya, larangan itu adalah menunjukkan haram.”
Sighat nahyu, terkadang ditujukan kepada beberapa makna, sesuai dengan tanda (qarinah) yang menunjukkan kearah itu, antara lain :
                                                          i.     Untuk do’a
Sebagai contoh, “Ya Tuhan kami janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Kata-kata “janganlah” berbentuk larangan, tetapi karena ditujukan kepada Allah swt., maka tidak boleh tidak, sehingga maknanya sebagai do’a.
                                                        ii.     Untuk memberi  petunjuk atau membimbing
Sebagai contoh, “Janganlah kamu menanya (pada Nabimu) akan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkan kamu.” (QS. Al-Maidah: 101). Kata ‘janganlah” berbentuk larangan, tetapi karena pada asalnya kita bebas atau boleh saja bertanya, maka digolongkan untuk memberi petunjuk atau membimbing.
                                                      iii.     Untuk keputusasaan
Sebagai contoh, “… Janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.” (QS. At-Tahrim: 7). Ayat tersebut adalah kata-kata Allah pada hari kiamat nanti. Kata “janganlah” tidak dapat dimaknakan larangan yang berarti haram, karena pada hari kiamat nanti tidak ada lagi hukum haram atau halal.
                                                      iv.     Untuk memberi harapan
Sebagai contoh, “Janganlah engkau bersedih sesungguhnya Allah (tetap) beserta kita.” (QS. At-Taubah: 41). Kata “janganlah” bukanlah larangan, karena rasa sedih itu fitrah manusia. Maka dinamakan memberi harapan.
                                                        v.     Untuk ancaman
Sebagai contoh seorang Tuan berkata pada pembantunya ‘jangan patuh padaku lagi.” Kata “jangan” bukan betul-betul larangan, melainkan sebuah ancaman agar pembantunya tidak membantah lagi.
ü  Kaidah kedua “Larangan terhadap sesuatu, berarti perintah terhadap dhid-dhidnya (lawan-lawannya).”
ü  Kaidah ketiga “Larangan bersifat mutlak, menunjukkan terus-menerus sepanjang masa.”
ü  Kaidah keempat “Larangan itu adalah menunjukkan rusaknya yang dilarang dalam bidang ibadat.”

B.     Al-Am dan Al-Khas
1.      Al-Am
a.       Pengertian Al-Am
Al-Am artinya umum. Al-Am menurut istilah ushul fiqh adalah “Lafaz yang mencakup akan semua apa saja masuk padanya dengan satu ketetapan dan sekaligus.” Maksudnya, semua lafaz yang melahirkan makna yang tidak mengikat suatu bentuk ikatan tertentu tanpa dibatasi.  
b.      Lafaz yang menunjukkan umum
Lafaz-lafaz yang berarti umum seperti : “kullu”, “jami’un”, “kafatan”, “ma’syarun”. Lafaz yang berbentuk isim syarat dan isim istifham, yakni bersifat ada balasan dan bersifat bertanya seperti : “man”, “maa”, “aina”. Lafaz yang berbentuk isim mausul yaitu untuk kalimat sambung seperti : “alladzi”, “al latii”, “al ladzina”, “al laati”.
Contoh lafaz yang bersifat umum, firman Allah dalam QS. Ali Imran : 185 “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”. Lafaz “berjiwa” dalam kalimat adalah umum karena mencakup semua makhluk yang memiliki nyawa atau jiwa.

2.      Al-Khas
a.       Pengertian Al-Khas
Khas adalah isim fi’il yang berasal dari kata kerja “khashshadha”, “yukhshshishu”, “yakhshiishan”, “khaashshi” yang berarti “yang mengkhususkan atau menentukan”. Khas dalam ushul fiqh adalah “Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua tau lebih tanpa batas”.
b.      Contoh  Al-Khas
Kata “rajulun” artinya seorang laki-laki, dalam hal ini terbatas pada seorang saja. Sedangkan “rujulaani” artinya dua orang laki-laki, dalam hal ini terbatas pada dua orang saja.

C.    Al-Muthlaq dan Al-Muqayyad
1.      Pengertian Al-Muthlaq dan Al-Muqayyad
Muthlaq artinya terlepas, tidak terbatas, dan lain-lain. Muthlaq yang dimaksudkan ushul fiqh adalah “Lafaz yang menunjukkan sesuatu yang hakikat, tanpa ada satu ikatan dari beberapa ikatannya.”
Muqayyad artinya yang mengikat, yang membatasi, dan lain-lain. Muqayyad yang dimaksudkan ushul fiqh adalah “Lafaz yang menunjukkan sesuatu hakikat, dengan satu ikatan dari beberapa ikatannya.”

2.      Contoh Hukum Al-Muthlaq dan Al-Muqayyad
Sebagai contoh adalah, sabda Nabi Muhammad saw. tentang kafarat bila seseorang bersetubuh di bulan Ramadhan  yang artinya “Puasalah dua bulan berturut-turut” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain, Nabi Muhammada saw. bersabda yang artinya “Puasalah dua bulan” (Hadits). Kedua hadits di atas mempunyai sebab dan hubungan yang sama. Dikatakan sebabnya sama karena sama sebab bersetubuh dan hukumnya sama-sama wajib.
Terdapat kaidah hukum muthlaq dan muqayyad : “Mutlak dibebankan pada yang muqayyad apabila sama sebab dan hukumnya”. Dan “Mutlak itu dibebankan pada yang muqayyad bila tidak sama sebab dan hukumnya”.

D.    Al-Mantuq dan Al-Mafhum
1.      Pengertian Al-Mantuq dan Al-Mafhum
Mantuq artinya yang diucapkan, yang tersurat atau teks. Mantuq dalam istilah ilmu ushul fiqh adalah “Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz sesuai dengan teks ucapan itu.”
Al-Mafhum artinya yang dipaham dan yang tersirat. Mafhum yang dimaksudkan dalam ushul fiqh adalah “Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks ucapan itu.”

2.      Macam-Macam Al-Mantuq dan Al-Mafhum
a.       Al-Mantuq
1)      An-nash atau Sarih artinya jelas atau tegas. Maksudnya adalah lafaz yang tidak memungkinkan untuk ditakwilkan.
2)      Az-Zahir artinya yang tampak atau yang nyata. Maksudnya adalah lafaz yang memungkinkan untuk ditakwilkan. Yang demikian ini sering disebut dengan ghairu sarih artinya tidak jelas maksudnya.
b.      Al-Mafhum
1)      Mafhum Mawafaqah adalah mafhum yang sesuai dengan mantuq-nya. Ahli ushul fiqh member pengertian bahwa “Apa-apa yang tidak tersebut (yakni yang tersirat) sesuai bagi yang tersurat”.
2)      Mafhum Mukhalafah adalah mafhum yang didapati dengan jalan mengambil kebalikan dari mantuq-nya. Ahli ushul fiqh memberikan pengertian bahwa “Apa-apa yang tidak disebut (yakni yang tersirat) kebalikan dari yang tersurat, bentuk positif atau negatif”.


E.     Al-Mudarif dan Al-Musytarak
1.      Al-Mudarif
Mudarif menurut bahasa artinya membonceng atau ikut serta. Sedangkan yang dimaksudkan ahli ushul fiqh adalah “Beberapa lafaz terpakai untuk satu makna”.
Contoh lafaz “al-asadu” dan “allaitsu” artinya singa. “addaaru”, “almanzil”, dan “albaitu” artinya rumah. Dari kedua contoh tersebut, jelaslah bahwa dua, tiga, atau beberapa lafaz yang mempunyai satu makna dinamakan lafaz muradif.
2.      Al-Musytarak
Musytarak menurut bahasa artinya berserikat, berkumpul. Sedangkan yang dimaksudkan ahli ushul fiqh adalah “Lafaz yang dibentuk untuk dua arti tau lebih yang berbeda-beda”.
Lafaz quru’ di atas mempunyai dua arti : suci dan haid. Karena memang lafaz itu digunakan oleh bangsa Arab untuk kedua makna itu. Kelompok Syafi’yah mengartikan quru’ dengan suci, sebaliknya kelompok Hanafiyah mengartikan quru’ dengan haid.

BAB VI
ITTIBA’, TAQLID, TARJIH DAN TALFIQ
A.    Ittiba’
1.      Pengertian Ittiba’
Kata ittiba’ berasal dari bahasa Arab, yakni fi’il “ittiba’a”, “yattabiu”, “ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurun. Jadi dapat disimupulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.
2.      Hukum Ittiba’
Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah swt., dalam firman Allah QS. Al-A’raf : 3 “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”.


B.     Taqlid
1.      Pengertian Taqlid
Kata taqlid berasal dari bahasa Arab yakni fi’il dari “qallada”, “yaqallidu”, “taqlidan”, yang artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya. Adapun dalam ushul fiqh, taqlid adalah “Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alas an perkataannya itu”. Dari semua definisi dapat disimpulkan bahwa taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadits, Ijma dan Qiyas.
2.      Hukum Taqlid
Jumhur ulama berpendapat bahwa, taqlid dalam bidang syar’i tidak dibenarkan secara mutlak. Sedang aliran Maliky berpendapat bahwa taqlid adalah batal. Demikian pula Zahiriyah bahwa taqlid dalam agama adalah terlarang.

C.    Tarjih
1.      Pengertian Tarjih
Tarjih menurut bahasa adalah “menjadikan sesuatu lebih kuat”. Dalam ushul fiqh, tarjih adalah “menguatkan salah satu antara dua dalil dengan yang lainnya”.
2.      Contoh Tarjih
Dua riwayat yang harus ditarjihkan karena tampak bertentangan, yaitu : “Dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata : “Rasulullah telah kawin dengan Maimunah, sedang Nabi dalam ihram” (HR. Muslim). Dengan riwayat lain yang artinya “Dari Yazid bin Al Asam, ia berkata : “Maimunah binti Al-Haris telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah kawin kepadanya, sedang beliau ihlal” (HR. Muslim).

D.    Talfiq
1.      Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain sebagainya. Dalam ushul fiqh, talfiq adalah “mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih”.
2.      Hukum Talfiq
Para Mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa-fatwa mereka, dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal memfatwakan fatwa mereka bila tidak diketahui alasan-alasannya.

DAFTAR PUSTAKA

Koto, Alaiddin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.